Dian Pelangi
(20) menjadi salah satu pelangi dalam Jakarta Fashion Week November
lalu. Seusai menggelar karya pada pekan mode itu, sejumlah penggemar
menyerbu Dian. Mereka meminta tanda tangan dan berfoto bersama.
Penggemarnya adalah gadis-gadis muda anggota komunitas Hijabers.
Dian memang beken di kalangan generasi muda yang menamakan diri
komunitas Hijabers itu. Anak-anak muda rela antre untuk mendapatkan
koleksi baru busana muslimah karya Dian. Ia menjadi acuan dalam hal mode
busana muslimah.
Dian ingin perempuan muslim selalu tampil
fashionable. Di
beberapa kota, seperti Aceh, Bandung, dan Makassar, Dian rutin berbicara
tentang mode busana muslimah. Ia kini hampir tak pernah ada di rumah
karena padatnya jadwal sebagai pembicara sekaligus memperagakan cara
berjilbab.
Kami menemui Dian yang ramah dan murah senyum di salah satu butik
miliknya di Bintaro, Tangerang, Banten. Matanya yang bulat besar selalu
lekat menatap lawan bicara. Dian terlihat lebih dewasa daripada usianya.
Pencapaian yang diraihnya juga melesat jauh melampaui umurnya.
Karya-karyanya telah menembus pasar dunia. Putri Basma Bint Talal dari
Jordania menjadi salah satu pelanggannya.
”Kadang saya merasa terlalu muda. Tapi, jika terus berpikiran begitu, saya tidak akan mencapai apa-apa,” kata Dian.
”Harus kerja keras wajtu muda, tapi buahnya manis. Saya bangga jadi
inspirasi anak muda,” kata perempuan yang bernama lengkap Dian Wahyu
Utami ini.
Bisnis orangtua
Ketika Dian lahir, orangtuanya mulai berbisnis kerudung dari kain
pelangi Palembang. Butik busana muslim itu lalu dinamai Dian Pelangi
yang kini menjadi nama merek sekaligus nama julukan Dian.
Dari kecil, Dian sudah dipersiapkan orangtuanya untuk melanjutkan bisnis
keluarga. Ada satu masa ketika Dian merasa hidupnya terlalu diatur. Ia
sempat berontak ketika ”dipaksa” sekolah di Jurusan Tata Busana SMK I
Pekalongan, Jawa Tengah.
”Dulu sempat nangis-nangis tiap pulang sekolah karena dicibir
teman-teman sebaya, dikiranya Dian cuma akan jadi tukang jahit,” tambah
Dian.
Sebagian dari teman-teman SMK-nya itu kini sudah menjadi karyawan Dian.
Begitu lulus SMK, Dian ingin sekolah di Milan, Italia, atau Paris,
Perancis, tetapi dil`rang dengan alasan masih di bawah umur.
Dian kemudian mengambil alih pengelolaan bisnis batik dari orangtua.
Tiga tahun dikelola Dian, butik orangtuanya yang dulu ada di empat kota
telah berkembang ke sembilan kota, termasuk sebuah gerai di Malaysia.
Saat ini jumlah karyawan Dian lebih dari 700 orang.
Sebagai desainer muda, Dian jeli menangkap selera pasar. Ia menciptakan
busana muslimah berbahan kain tradisional yang siap dipakai dan
tergolong murah. Dia fanatik dengan bahan baku kain tradisional yang
diproduksi sendiri, seperti kain jumputan, songket palembang, dan batik
pekalongan.
Permintaan membuka butik di luar negeri, seperti di Timur Tengah dan
Eropa, terus berdatangan, tetapi Dian belum menyanggupi karena kendala
produksi. Selembar busana muslim berbahan batik, misalnya, membutuhkan
proses produksi hingga tiga bulan.
Sejak 2009, Dian mulai menembus pasar Timur Tengah. Saat itu ia sempat
kesal ketika beberapa kerabat melarangnya membawa batik karena dianggap
tidak akan laku. ”Dian nekat bawa jubah batik hitam. Hanya bawa satu
kopor dan ludes terjual,” ujarnya.
Debut Dian diawali saat mengikuti peragaan busana di Melbourne,
Australia. Pertengahan Desember lalu, Dian turut dalam peragaan busana
di Paris. Ia mengusung busana muslim musim dingin dengan inspirasi gaya
Rusia.
Model
Dian juga sangat suka berperan sebagai model. Foto-fotonya menjadi
identitas tersendiri bagi merek Dian Pelangi. ”Kalau di butik tidak ada
foto Dian, pasti dikira palsu, ” tambahnya.
Sejak kecil, Dian selalu ingin tampil. Bak peragawati, ia memperagakan
baju-baju di depan tamu yang datang ke butik ibunya di Pekalongan. Ia
juga tekun membuat pola-pola baju untuk dipakai sendiri atau mendandani
bonekanya.
Sebagai model, dengan postur tubuh semampai 172 sentimeter, Dian
terlihat semakin tinggi karena ia sangat suka memakai sepatu berhak
setinggi 15-20 cm. ”Lebih tinggi lebih bagus. Saya lebih pede dengan
high heels,” katanya.
Sehari-hari ia memakai sepatu berhak 7 cm. Karena ukuran kakinya 41,
Dian sering kesulitan membeli sepatu. Maka ia pun kadang mendesain
sepatu sendiri agar sesuai dengan imajinasinya. ”Aku perfeksionis dalam
hal penampilan. Pengin total dari ujung kaki sampai ujung kepala,” kata
Dian.
Jika penat dengan padatnya jadwal, Dian menghibur diri dengan lagu-lagu Melayu, di antaranya
Engkau Laksana Bulan yang
dulu dipopulerkan P Ramlee dan kemudian oleh Sheila Madjid. Dengar Dian
berlagu, ”Engkau laksana bulan... Tinggi di atas kayangan....”
Dian Wahyu Utami
Lahir: Palembang, 14 Januari 1991
Pendidikan:
- SD MI Adabiyah II
- SMP Insan Kamil Ponpes Al Ihya Bogor
- SMKN I Pekalongan
- ESMOD Jakarta (Fashion Design dan Pattern Making)
- Lessanul Arab (Kairo, Mesir)
Suami: Tito Prasetyo (31)